Minggu, 20 Januari 2013

Kita

Aku tak akan mengisahkan kesedihan meski engkau meminta
Pun aku tak akan mengisahkan kenangan jika engkau tak ada di sana
Karena aku akan selalu mengisahkan kesunyian yang engkau selalu ada di sana
Menantiku sepenuh rindu.


...
SCheH 

Nihil

Telah aku coba menuliskan kerinduan juga segala kisah apapun yang dimulai dan kelak diakhiri tanpa namamu yang ternyata tak berhasil.


...
SCheH

Tentang Dia

Yang berdenyut di nadiku adalah Dia
Dan yang mendetakkanya adalah rindu.



...
SCheH

Puisiku

Puisiku serupa sampan pembawa rindu 
di laut tenangmu
di sepi dermaga lapukmu

Kelak, saat sauh kutambatkan
maukah kau senandungkan kidung asmaradana yang biasa kau bisikkan di telinga sunyiku?




...
SCheH

Mel


Tak pernah tahu dan tak pernah paham seharum dan sedalam apa makna yang tak henti kau guratkan di sana, cuma satu hal, aku memaknaimu sebagai perempuan puisi.

Kamis, 17 Januari 2013

Kepada senja


Di mana engkau sembunyikan wajahnya
yang kemarin begitu sering kau bingkai dalam jingga milikmu
aku kehilangan, sungguh

Di mana engkau simpan berbait sajak
yang sering kuguratkan kala jinggamu hadir bersama
dan serengkuh lekang jemarinya pada rindu itu
aku kehilangan, sungguh

Di mana engkau simpan semua ingatan tentangnya
ketika pelan langit menemaram
saat temaram awal malam menirai
suguhkan gelap ditiap ujung pertemuan
aku kehilangan, sungguh

Mencarilah,
dicari kini pada sejuk hembus
yang biasa mengabarkan sesiluet lembut wajah
tersaji dihadapan bersama secangkir kopi
dan seirisan senyum yang tak pernah habis kunikmati

Menjadilah engkau selalu puisi merduku
seperti senja senja kemarin agar aku tak merasa kehilangan, sungguh 


...
SCheH

Rabu, 16 Januari 2013

Potret


menggantung sendiri
bingkai berdebu
bersulam sesarang labalaba
diam menatap
tak ada kata terucap
meski ingin

Segala peristiwa terlalui
segala musim silih berganti

cermin kian buram
lembar semayam kian kusam
bisu

Tapi aku tahu serahasiamu,
tiap malam larut saat semua terlelap gambarmu terpendar
mewujud setipis kabut

sambil bersenandung lirih, engkau menziarahi mereka yang kau cinta
mengecupinya, meninggalkan kasihmu di kening


...
SCheH

Saat hujan


Setelah sejenak berteduh di bawah halte penuh lubang, penuh karat, ia kembali bergegas melangkah. Hujan masih sisakan rincik yang tak seperti akan segara surut, di bilahnya, senja kian pudar, lampu- lampu nyala gantikan terang matahari.

Setengah tak sengaja, hampir saja tubuhnya menabrak tepat seorang perempuan berpayung merah dengan hiasan  penuh bunga. " maaf. " dan sejurus kemudian mereka saling tatap, dalam tempias gerimis, dalam temaram senja yang melarut.

" aku seperti tak asing denganmu..." bisik tangkai payung itu, pada lelaki yang mematung tegak di hadapnya. 
Lelaki itu diam, ia terkejut, " siapa tadi yang bicara?".

Perempuan itu diam, 

" ia bisu." bisik tungkai payung itu menegaskan. 
" lalu kau mengenalku di mana?" ucap lelaki itu mengejar. 

Tungkai payung itu mengurai
luruh satu satu menjadi lembaran ingatan akan pertemuannya dengan lelaki itu
saat sang perempuan
dengan suara hembus seruani penuh rindu
bernyanyi di hadapannya
kemarin.



...
SCheH

Rindu, sunyi, dan sajak


Rindu,
pada mulanya tatap
menyimpan dalam seruang rasa
mengisi tiap tiap bening selasar ingatan
memekar pada tiap detak waktu


Sunyi,
pada mulanya tiada
mengendap dalam seruang kosong
ada alir tak gemericik
ada siur tak bergemuruh
ada suara tak membisik
bermuara pada ketiadaan


Sajak,
pada mulanya kata
mengendap dalam kalbu
mengalir ditiap nadi
jadikan rindu dalam rindu

Tapi setelahnya tetap
kesunyian yang tiada


...
SCheH

Tentang Desember


Tak pernah lagi hujan mengetuk 
tinggalkan jejak bening di pelataran
musim membawa dia dalam kegelisahan
menyimpannya dalam rupa semilir

Kelopakan setangkai di genggaman layu sudah
merah itu pucat, serupa warna yang kau tinggal di ingatan  
sehelai itu meremah, jadi keping berderai resah
di jemari, duri itu tumbuh menunas

Tentang desember,
hanya musim beralih rupa
jadi bayang dirinya yang kadang membias
memecah bening, lalu lesap di rerumputan

Tentang desember,
seribu bilah pelangi berwarna sama, 
abuabu


...
SCheH

Sumbi


Tak ada tahu rahasia apa di rahimnya
Menjadilah dari kehendak, lelaki itu
Yang menjadikannya perempuan terkutuk
Dicintai sang putra dewa
Putranya sendiri

Ohhh...
Takdir apa yang engkau gariskan
Aku di sini dalam lingkar keputusasaan
Terbelengu lingkar yang kuciptakan sendiri
Tertusuk tajam kata yang ku ucap
Memustahilkan waktu yang tak berpihak

Beribu musim
Wajah tetap semi
Mengundang cinta tak patut
Meninggalkan lara pada kisah
Menancapkan sesal tak berujung

Lalu harus apa aku
Mengobong serupa Shinta 
Atau tak pernah melahirkannya
Dia, Sangkuriang

Jadikanlah aku selendang itu kini
Biar aku moksa jadi fajar
Dan tak pernah lagi menjumpai
dijumpainya


...
SCheH

Senin, 14 Januari 2013

Sarapan

Sebutir rembulan mematasapi 
di atas sepiring lapar sisa malam 
Sesuapan kembali sesuapan 
Gelinjang hangat menelusur mengisi 

Jangan kau cari rembulan, nanti 
Ia di sini, dalam gelap diri 
Menyemayam memurnama 
Menerangi 



... 
SCheH 

Saat sebelum tadi


Ingin engkau kembali kutemui, saat malam hampir saja sempurna, saat di beranda ini masih terang tanah, dan masih samar tertatap oleh mataku yang kian suram. Mengajakmu kembali susuri taman dalam kotamu, sambil sesekali menyematkan kelopakan melati di sela antara telinga dan rambutmu yang mengombak itu.

Tak perlu banyak cakap, saling tatap saja cukup bagiku, dan biar kesunyian pecah oleh renyah tawamu dan jika ada serpihannya yang jatuh, aku akan memungutinya lalu menyimpannya dalam seruang kosong yang memang kusiapkan untuk itu.

Tak perlu banyak tanya, biar saja –meski ada- ia menguncup kembali, pun tanya milikku, telah kupupuskan segala tentangmu, tentang waktu yang sebelumnya kau lalui, tentang segala yang pernah kau alami.

Biar, biar saja segala mengalir, serupa sungai kecil di ujung taman itu, di mana biasanya kau basuh keningmu dengan beningnya dan sesempatnya kau percikkan yang di telapakmu ke wajahku, dan tak pernah kuhindari.

Ada keinginan, menelusup dalam selasar kalbu, mengetuki dinding rasa, meski aku sendiri tak yakin apa mampu aku mengatakannya, yang seperti tadi, saat dering selulerku berbunyi dan di layarnya namamu terbaca, kau tahu kan?! Aku malah banyak diam, ketika kudengar bibirmu berkata kata dan memekarkan bebunga yang menebar dalam ingatan.

Dan kau tahu jugakan?! Bahkan aku terlalu gagap meski hanya untuk berkata,” aku ingin menemui”

Kini, di tempat ini, bentang panjang jalan taman kotamu, saat malam kian renta, telah kusiapkan satu tanya untukmu jika kembali di sisiku, "adakah yang kau curi dariku hingga aku merasa kehilangan?"



...
SCheH

Perburuan


Sebutir airmata
Mengeram dalam telapak

Memecah tetas

Dari repihnya 
Seekor elang terlahir

Ia terbang
Memintas malam

Gelap retak

Nyaring lengking
Buraikan hening

Dia pemburu
Lahir dari darah sang terburu

Mencari arah
Ikuti mata angin

Kembali kelak
Membawa darah yang diburu



... 
SCheH

Gie;

Kemana dia yang kau tunggu? 

Kering daunan berserak 
Detak detik berderap melangkah searah 
Tak menoleh tak melirik, lurus tak berpaling 

Sajak ku layu, aksaranya luruh meleleh 
Tak ada yang terbaca 
Senja pun kuyu sebelum jingga memekar 
Tibatiba kau tak lagi tertatap 

Malam menelikung sebelum aku. 

... 
SCheH 

02.10

Rupa hening itu; 
Taluan detak jam dinding 
Gemericik embun memecah 
Dan sendiri rembulan di hitam langit 


Kita taburkan doa 
Pada kedalamannya yang tak terbaca 
Untuk terang wajah fajar 
Untuk hangat peluk pagi 


...
SCheH

Kidung Musim

Kataku berdahan beranting
satu sisi lebat daunan dan bunga bakal buah tumbuh subur menghiasi
satu sisi lainnya kering ranggas lapuk batang tabah menunggu luruh. 

Di bawahnya, 

perempuan itu berteduh, tubuh dan bayangnya di tempat yang berbeda. 

Siapa lebih kekal menanti, 

kelopak bunga, daunan kering, atau kepompong yang bergantung di antaranya? 

Kataku berdahan beranting 

aku musim penabur benih. 

... 
SCheH 

Sehelai rambutmu yang menjadikannya puisi



Aku ingin menukar sehelai ingatan yang berisi penuh dengan puisi ini
dengan sehelai rambutmu yang hitam,
dan kemudian mengikatkan hitamnya pada ruas-ruas jemariku
hingga tak mampu lagi ia bergerak dan membiarkan
meski kemudian ia menjerit-jerit meneriakkan kebebasan.

Helaian yang lainnya pun –dan sama penuh dengan puisi- akan aku simpan
terlalu sesak, terlalu lelah jika aku harus kembali bacakan satu-satu
tapi itu kukerjakan,
setelah engkau menyerahkan sehelai rambutmu itu
sebelum aku mengikatkannya di jemari
jemari yang tak pernah henti memuisikan segala tentangmu,
segala tentangnya.

Dan sesudahnya mungkin kita masih dapat bercengkrama

Engkau yang biasa diam sebelum aku sapa
semoga saja mau terlebih dulu menyapa
mengisahkan sekeping sunyi
yang kau simpan di kedalaman matamu
melinangkan hening yang diam-diam biasa kau luruhkan kala aku tak menatap
atau membuang jauh-jauh kenangan yang terbaca di wajahmu, saat aku coba menerka

Masih tentangmu,
tentang perempuan yang wajahnya sukar kuhapus meski sepanjang usia kubasuh

Akan kau berikankah padaku sehelai rambut hitammu itu?
atau seperti yang sering terjadi,
engkau membiarkan setiap aku mengingatmu
seluruh ingatanku mengalirkan beribu kata ke ujung jemari
dan melahirkan puisi-puisi melankolis lewat kuku-kuku rapuhku.

Setelahnya,
kembali engkau masyuk dalam sunyi
sambil pelan menyenandungkan kidung kerinduan
yang entah untuk siapa, entah untuk rindu yang apa.


SCheH

Penyair Jalanan


Gerobak bapak 

penuh rumus angka 
penuh gurat memanjang, luka 
penuh pemikiran tapi tak tertuang 
penuh tanda tanya, yang beliau pun tak mampu temukan jawabnya. 


Gerobak emak,  
banyak gambar bunga 
cat warna warni mulai kusam 
impian tentang masa depan 
dan tabah menunggu janji bapak. 


Gerobak -kelak- milikku, 
tanpa roda teronggok di pojokan nasib 
dindingnya bertuliskan tangan naik turun 
berbait puisi bara 
berbait puisi rindu 
berbait puisi kematian. 

Gerobak bapak 
Gerobak emak 
Gerobak -yang kelak- milikku 
mereka berbaris saling gandeng, 

berceloteh tentang sang pemilik, 
berharap dicat dan diberi roda baru, 
diganti rangka besi, 
agar mampu menarik beban milik bapak, 
keinginan emak dan 
tentu menjadi ruang yang cukup untukku merebah. 


... 

SCheH 

Empat sajak pendek untukmu

1. aku kirimkan beberapa sajak yang nyaris kering padamu dinda, jika kelak dia sampai padamu, peluk dia, dan bisikkan rindumu akanku diam-diam, jangan ada apalagi angin yang tahu, karena mereka akan iri dan memaksaku kembali ke sini.

2. sajak itu seperti ruang kita bermain, ada taman bunga, ada bangku kayu dan sebatang akasia rindang yang sering kita gunakan berteduh di sana. engkau ingat, sematan kembang sepatu di sela  rambutmu?

3. engkau pasti percaya akan kekuatan kata kan dinda, pada diamnya ia adalah pusat segala gemuruh dalam pikiran kita, pada suaranya ia adalah keheningan paling hakiki yang mampu kita baca.


4. lalu apa yang kau mampu baca dari sajak yang kukirim itu? sepasang mata penuh rindu, atau hamparan asa yang dalamnya adalah seluk labirin tak berujung. tapi jika kau pahami aku, engkau pasti paham kemana pintu menuju.




...
SCheH

Minggu, 13 Januari 2013

Ketika Berdua


aku menatapnya, sepintas, ia yang duduk di sisi erat merapat, kemudian ia berbisik, siapa dia yang sedang kau nanti; angin membawa dingin tiba-tiba berhembus melintas di depan kita, ia kian merapat, kelu, bisiknya lagi, kita membisu.

lama berdiam, aku menunggu, dia -mungkin sama- menunggu, sedang ia yang di sisiku kian gelisah, apa kau mengenalnya? atau kau menunggu untuk meng
enalinya? kembali sepi tergugu, gerimis mulai jatuh, langit mengabu, sepertinya hujan segera datang.

bayangnya mungkin telah sampai di sini, harumnya juga, aku menciumnya setelah tadi angin yang melintas sepertinya ceroboh tak menutupnya, jangan pergi dulu, sebentar lagi dia menemuimu, bisiknya lagi.

hujan benar datang, jatuh berguguran serupa kembang buah kapas yang memecah saat tiba musim semi, warnanya putih, merepih rata di atas kepala, tak membasahi hanya lembut membuat gigil.

aku tatap matanya, pelan kukecup punggung tangannya, ini januari dik, bukankah engkau dan aku biasa menunggu, bukankah engkau yang biasa menyimpan setiap debaran kala waktu mendetak mendekatkan aku dengannya.

aku tatap matanya -kian tajam- ia sepertinya tersenyum, aku maknai apa selengkung sabit yang ia ciptakan itu, wajahnya cahaya putih nyaris nyata tapi tetap tak mampu terlukiskan.

hujan yang datang kian pekat, pelan ia menengelamkan aku dan bayang kenangan atasnya.

...

SCheH